Kematian Pemimpin Hizbullah dan Eskalasi Konflik Israel – Lebanon

BY Sayyidul Mubin
30 September 2024
Kematian Pemimpin Hizbullah dan Eskalasi Konflik Israel – Lebanon

Konflik Israel-Lebanon telah berlangsung selama beberapa dekade, dengan Hizbullah sebagai salah satu aktor kunci. Kematian pemimpin Hizbullah tidak hanya mengubah struktur kepemimpinan dalam organisasi tersebut, tetapi juga memengaruhi hubungan internasional dan stabilitas regional. Hizbullah, yang didirikan pada awal 1980-an, telah berkembang dari kelompok paramiliter menjadi kekuatan politik yang signifikan di Lebanon. Dalam konteks ketegangan yang berkelanjutan dengan Israel, Hizbullah sering kali dipandang sebagai perpanjangan tangan Iran di kawasan. Kematian pemimpin Hizbullah, Sayyed Hasan Nasrallah, dapat memicu ketidakpastian dalam kepemimpinan organisasi dan mengubah strategi yang diambil dalam menghadapi Israel.

Tercatat bahwa serangan Israel di Lebanon pada tanggal 29 September 2024 mengakibatkan sedikitnya 53 korban jiwa dan 100 orang terluka (BBC.com). Dalam kekerasan ini, Pasukan Pertahanan Israel berperan sebagai aktor utama, sedangkan Hizbullah, kelompok militan Lebanon yang didukung oleh Iran, berfungsi sebagai antagonis yang telah lama menjadi musuh Israel. Hizbullah diduga berperan sebagai instrumen proyeksi kekuatan Iran di kawasan tersebut. Kehilangan pemimpin senior Hizbullah, khususnya jika nama-nama seperti Nabil Qaouk dan Ibrahim Hussein Jazini teridentifikasi di garis depan, mengindikasikan upaya strategis Israel untuk menargetkan dan melumpuhkan kemampuan kepemimpinan serta hierarki organisasi tersebut.

Iran berperan sentral dalam konflik ini melalui dukungan yang diberikan kepada Hizbullah, Hamas di Gaza, dan Houthi di Yaman. Laporan mengenai serangan Israel terhadap Houthi di Yaman mencerminkan kekhawatiran Israel terhadap aliansi regional yang dipimpin oleh Iran. Di sisi Israel, keputusan Perdana Menteri Netanyahu untuk mengintegrasikan Gideon Sa'ar, mantan saingannya, ke dalam pemerintahan menunjukkan adanya tekanan internal dalam sistem politik Israel. Langkah ini berpotensi ditujukan untuk memperkuat dukungan domestik dan membangun front persatuan di tengah meningkatnya ketegangan dengan Hizbullah serta aktor regional lainnya.

Pada kasus ini, identitas dan ideologi aktor-aktor yang terlibat memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk konflik ini. Peran Hizbullah sebagai gerakan perlawanan terhadap Israel merupakan inti dari identitasnya, yang dipengaruhi oleh narasi perlawanan anti-Israel dan anti-Barat. Begitu pula, identitas Israel sebagai negara Yahudi yang dikelilingi oleh tetangga yang bermusuhan berkontribusi pada kebijakan keamanan dan strategi militer yang diadopsi. Konflik ideologis antara Israel dan Iran, di mana Iran mengkategorikan dukungannya terhadap Hizbullah sebagai bagian dari oposisi terhadap Zionisme, menunjukkan bagaimana ideologi dan identitas yang dibangun memengaruhi tindakan internasional di luar faktor material semata. Konflik antara Israel dan Hizbullah merupakan masalah yang kompleks, yang menyentuh berbagai aspek hubungan internasional. Hal ini mencakup perebutan kekuasaan antar negara, konflik yang dipicu oleh ideologi, serta krisis kemanusiaan. 

Kematian seorang pemimpin karismatik dapat menciptakan kekosongan dalam kepemimpinan. Pergantian ini berpotensi menyebabkan perpecahan internal dalam Hizbullah, yang dapat dimanfaatkan oleh musuh-musuh mereka, termasuk Israel. Ketidakpastian mengenai pengganti Nasrallah dan arah strategis Hizbullah dapat menciptakan peluang bagi eskalasi konflik (Gendzier, 2015). Kematian pemimpin Hizbullah dapat memicu mobilisasi massa di Lebanon. Reaksi emosional masyarakat dapat menyebabkan demonstrasi dan peningkatan kekerasan, baik terhadap Israel maupun di dalam negeri. Ini bisa menjadi momen bagi Hizbullah untuk memperkuat legitimasi mereka sebagai pembela Lebanon, meskipun ada risiko peningkatan kekerasan.

Dalam menghadapi ketidakpastian ini, Israel mungkin memilih untuk memperkuat posisinya secara militer. Penyerangan atau tindakan preventif terhadap Hizbullah dapat meningkat, mempercepat siklus kekerasan yang sudah ada. Taktik Israel yang agresif sering kali menanggapi perkembangan di Lebanon, dan kematian pemimpin Hizbullah bisa menjadi pemicu bagi tindakan tersebut. Kematian pemimpin Hizbullah juga dapat mengubah dinamika aliansi di Timur Tengah (Norton, 2007). Iran, sebagai pendukung utama Hizbullah, mungkin merasa terdorong untuk meningkatkan dukungan mereka. Sebaliknya, negara-negara Teluk yang berseteru dengan Iran mungkin memperkuat posisinya terhadap Hezbollah, menambah kompleksitas situasi.

Eskalasi konflik dapat memicu gelombang pengungsi baru ke negara-negara tetangga, yang sudah menghadapi tantangan dari krisis pengungsi sebelumnya, seperti yang terjadi akibat konflik di Suriah. Ini akan menambah beban bagi Lebanon dan negara-negara lain di kawasan. Kematian pemimpin Hizbullah dapat memicu eskalasi kekerasan antara Hizbullah dan Israel, yang mungkin berujung pada serangan militer lebih lanjut. Ketegangan yang meningkat ini dapat menyebabkan perpindahan paksa warga sipil, memperburuk krisis pengungsi yang sudah ada di Lebanon, di mana banyak pengungsi Suriah telah menetap. Kematian tersebut dapat memicu mobilisasi massa di kalangan pendukung Hizbullah. Demonstrasi dan aksi protes dapat meningkatkan ketidakstabilan di Lebanon, yang pada gilirannya dapat membuat warga sipil merasa tidak aman dan terpaksa melarikan diri dari daerah konflik. 

Dalam menghadapi ketidakpastian setelah kematian pemimpin Hizbullah, pemerintah Lebanon dan negara-negara tetangga mungkin memperketat kebijakan perbatasan dan keamanan. Hal ini dapat menghambat kemampuan pengungsi untuk mencari perlindungan, menciptakan tantangan lebih lanjut bagi mereka yang melarikan diri dari kekerasan (Sayigh, 2014). Jika konflik berkepanjangan terjadi akibat kekosongan kepemimpinan di Hizbullah, kemungkinan besar akan ada peningkatan jumlah pengungsi yang melarikan diri ke negara-negara seperti Turki, Yordania, atau negara-negara Eropa. Hal ini dapat meningkatkan beban pada negara-negara yang sudah menghadapi krisis pengungsi sebelumnya. Krisis pengungsi yang semakin memburuk dapat menarik perhatian komunitas internasional. Namun, ketidakpastian situasi di Lebanon dapat mempersulit distribusi bantuan dan layanan bagi pengungsi. Di sisi lain, jika pengungsi dianggap sebagai ancaman, negara-negara dapat mengadopsi kebijakan yang lebih ketat terhadap imigrasi.

Daftar Rujukan

Gendzier, I. M. (2015). Hizbullah: A Global History. University of California Press.

Norton, A. R. (2007). Hizbullah and the Politics of Sectarianism in Lebanon. Middle East Research and Information Project.

Sayigh, Y. (2014). The Armed Struggle in the Palestinian Cause: Perspectives and Histories. Cambridge University Press

BBC.Com. (2024). Ratusan Orang Tewas dan Ribuan Terluka dalam Serangan Israel di Lebanon diakses dari laman https://www.bbc.com/indonesia/articles/cx2l0rn2nq0o