Isu lingkungan telah menjadi salah satu isu yang disoroti oleh masyarakat global. Isu lingkungan merupakan isu ketiga setelah isu keamanan dan ekonomi dalam ilmu Hubungan Internasional. Pada tahun 1960-an, isu lingkungan mendapat perhatian di tingkat internasional karena dampak dan risiko yang ditimbulkan meningkat secara signifikan.
Pada tahun 1972, United Nations on the Human Environment mengorganisir pertemuan Stockholm Conference untuk merespon munculnya permasalahan polusi dan isu lingkungan lainnya yang terjadi pada 1960-an tersebut. Konferensi ini merupakan awal mula munculnya isu lingkungan yang melembaga dan telah memiliki prinsip-prinsip serta menyadari pentingnya peran negara dalam merespon permasalahan lingkungan.
Isu lingkungan sendiri menjadi penting dalam hubungan internasional mengingat semakin meningkatnya permasalahan lingkungan yang berdampak pada aspek sosial, ekonomi, hingga keamanan negara-negara khususnya bagi negara kepulauan dan negara kecil padat penduduk. Permasalahan lingkungan dalam berbagai aspek tersebut dapat memberikan dampak buruk bagi kehidupan manusia, khususnya adalah masalah perubahan iklim.
Menanggapi bahaya dan dampak dari perubahan iklim tersebut, PBB membentuk kerangka kerja untuk menangani masalah perubahan iklim yakni United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Pembentukan UNFCCC diawali dari pertemuan KTT Bumi pada 1992 dan efektif berjalan pada tahun 1994 dengan tujuan awal menstabilkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer sampai pada tingkat yang tidak membahayakan kehidupan organisme dan memungkinkan terjadinya adaptasi ekosistem.
Konvensi ini ditandatangani setiap tahunnya sejak tahun 1995 dalam pertemuan yang biasa disebut Conference of the Parties (COP) untuk menilai perkembangan perubahan iklim global. COP sendiri merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi dalam UNFCCC dengan tugas merancang upaya internasional untuk program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta bertanggung jawab untuk mengkaji ulang implementasi kebijakan yang telah dibuat pada pertemuan sebelumnya dan berkewajiban meningkatkan efektivitas implementasi kebijakan oleh pihak yang tergabung dalam UNFCCC.
Upaya yang dilakukan oleh negara untuk meminimalisir dampak perubahan iklim harus mampu memberikan dampak yang signifikan bagi iklim global untuk menyelamatkan kehidupan generasi sekarang dan generasi di masa mendatang, hal tersebut dapat diwujudkan melalui kebijakan–kebijakan mengenai lingkungan yang dilaksanakan bersama-sama oleh masyarakat global.
Selain melalui UNFCCC, kerjasama negara untuk menanggulangi masalah iklim global juga diwujudkan melalui kerjasama internasional di luar UNFCCC. Kerjasama ini dilakukan oleh negara-negara yang memiliki kepentingan sama terkait masalah perubahan iklim. Kerjasama internasional di luar forum UNFCCC yang terbentuk untuk mencapai kepentingannya terkait masalah perubahan iklim khususnya dalam hal keamanan negara menghadapi ancaman naiknya permukaan air laut adalah Climate Vulnerable Forum (CVF).
CVF sebagai forum kerjasama internasional yang beranggotakan negara-negara rentan terhadap dampak perubahan iklim global berupaya meningkatkan kesadaran negara-negara lain terhadap dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim agar dapat menyelamatkan negara-negara anggotanya dari ancaman perubahan iklim. Negara-negara yang bergabung dalam forum kerjasama ini adalah negara–negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim khususnya dampak naiknya permukaan air laut.
Tahap Awal Negosiasi Politik Oleh Climate Vulnerable Forum (CVF)
Tahap pertama yang CVF lakukan adalah issue definition. CVF pertama kali melakukan pertemuan pada November 2009 di Male, Maladewa bersama 11 negara anggotanya. Dalam pertemuan di Male, CVF mendeklarasikan Male Declaration yang menyatakan bahwa CVF merasa khawatir dengan kondisi Bumi yang mengalami perubahan semakin cepat disebabkan oleh aktivitas-aktivitas manusia.
Perubahan pada bumi tersebut seperti mencair dan hilangnya permukaan es, terjadinya pengasaman pada laut dunia karena peningkatan Karbondioksida, meningkatnya bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan badai tropis, khusus di beberapa wilayah naiknya muka air laut yang memberikan risiko mengubah Bumi karena berpotensi menenggelamkan wilayah daratannya, serta kerusakan-kerusakan pada keanekaragaman hayati yang dimiliki.
Bagi negara-negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, perubahan iklim bukan hanya suatu bentuk keprihatinan terhadap kondisi lingkungan global tetapi hal ini berkaitan dengan masalah keamanan negara dan warga negara mereka. Menyadari akan ancaman besar yang sedang dihadapi membuat negara-negara rentan lebih berkomitmen dalam menjalankan kebijakan perubahan iklim dengan mengambil respon yang efektif dan progresif terhadap ancaman mendesak perubahan iklim berdasarkan bukti ilmiah yang ada.
Oleh karena itu CVF mengangkat isu ambang batas suhu bumi pada masyarakat global khususnya mengenai besarnya ancaman yang ditimbulkan, penyebab utamanya, dan tindakan internasional yang diperlukan untuk menangani isu tersebut. Target ambang batas suhu bumi 1,5 derajat Celcius telah dibicarakan oleh CVF pada pertemuan pertama mereka di Male, Maladewa yang menekankan urgensi dari kebijakan yang ambisius, adil, dan efektif untuk disepakati dalam pertemuan COP 15 Copenhagen tahun 2009.
Tindakan lanjutan dari issue definition mengenai ambang batas suhu bumi yang menjadi tuntutan utama CVF kemudian dibahas lebih lanjut pada pertemuan COP 15 Copenhagen. COP 15 ini diagendakan untuk membicarakan aturan legally-binding baru pengganti rezim sebeumnya pasca tahun 2020.
Tuntutan CVF mengenai target ambang batas suhu bumi tercantum dalam Poin 1 Copenhagen Accord yang menekankan kemauan politik yang kuat untuk memerangi perubahan iklim dengan prinsip dan tanggung jawab bersama sesuai dengan kemampuan masing-masing Pihak.
Untuk mencapai tujuan akhir Konvensi dalam menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat yang tidak mengganggu sistem iklim bumi berdasarkan pada ilmu pengetahuan terbaru bahwa kenaikan suhu global harus di bawah 2 derajat celcius. Aturan tersebut kemudian ditekankan lagi sesuai dengan permintaan negara-negara rentan agar ambang batas suhu bumi berada di tingkat 1,5 derajat Celcius pada Poin 12 Copenhagen Accord.
Tahap Akhir Negosiasi Politik Oleh Climate Vulnerable Forum (CVF)
Pada tahap bargaining, CVF sebagai negara yang memiliki kepentingan pada isu aturan ambang batas suhu bumi 1,5 derajat Celcius meminta para Pihak UNFCCC dalam COP 21 untuk meninjau kembali ambang batas suhu bumi yang ditargetkan karena tingkat suhu yang telah ditargetkan tidak cukup untuk menanggulangi ancaman yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Keseriusan masalah yang diangkat akan dibahas pada tahap ini dengan mengajukan pilihan-pilihan kebijakan yang bisa diambil. Pada tahap ini koalisi internasional mulai terbentuk untuk mendukung atau menolak kebijakan yang akan diambil tersebut.
Aturan ambang batas suhu bumi yang akan diadopsi dalam Paris Agreement memiliki tiga kemungkinan pilihan antara lain, kemungkinan pertama kebijakan awal yang akan diadopsi adalah ambang batas suhu global di bawah 2 derajat Celcius, namun tetap memperhatikan ambang batas suhu 1,5 derajat Celcius.
Kemungkinan kedua ambang batas suhu bumi berada di bawah 2 derajat Celcius dan meningkatkan upaya global untuk membatasi pemanasan hingga pada suhu bumi 1,5 derajat Celcius. Dan kemungkinan ketiga adalah ambang batas suhu bumi berada di bawah 1,5 derajat Celcius sebagai batas suhu aman terkait dengan pembangunan berkelanjutan, keamanan negara, dan ketahanan pangan bagi masyarakat.
Dari ketiga kemungkinan kebijakan yang akan disepakati memiliki pro dan kontra masing-masing bagi negara Pihak yang terlibat. Kemungkinan ketiga sebagai keputusan yang disepakati dalam COP 21 mendapat dukungan dari negara Pihak khususnya negara-negara yang rentan terhadap dampak-dampak perbahan iklim.
Koalisi negara Pihak yang mendukung kebijakan tersebut adalah koalisi SIDS karena negara Pihak anggota SIDS mayoritas merupakan negara berkembang dengan wilayah pulau kecil. Selain itu ada pula Kolombia, Paraguay, Chili, dan Peru yang menyatakan bergabung untuk mendukung ambang batas suhu bumi 1,5 derajat Celcius dan salah satu negara maju yang mendukung kebijakan tersebut adalah Jerman.
Di hadapan perwakilan negara Pihak lain, kepala pemerintahan Jerman, Andrea Merkel menyatakan ambang batas suhu 2 derajat Celcius tidak memungkinkan bagi negara-negara kepulauan dan negara-negara kecil padat penduduk. Secretary Emmanuel M. de Guzman of the Philippines sebagai ketua CVF pada kesempatan Ministerial Dialogue on the Long-Term Goal COP 21 memberikan statement sebagai perwakilan negara-negara rentan bahwa tingkat keberhasilan kesepakatan yang ambisius pada COP 21 adalah ambang batas suhu bumi di tingkat 1,5 derajat Celcius.
Negara-negara rentan yang terus menghadapi krisis iklim dan semakin menderita dengan pemanasan global di tingkat 1 derajat Celcius, bagi mereka 0,5 derajat Celcius merupakan angka yang tersisa untuk dapat mengendalikan krisis iklim tersebut. Menurut de Guzman, ambang batas suhu bumi 2 derajat Celcius tidak memiliki kekuatan dalam menahan krisis iklim yang akan terjadi dan permasalahan hak asasi manusia akibat perubahan iklim.
Regime strenghtening merupakan tahapan terakhir dari pembentukan rezim perubahan iklim yang menggambarkan tekad dari CVF untuk mempertahankan kepentingan mereka terkait ambang batas suhu bumi berada pada tingkat 1,5 derajat Celcius. Ada tiga tahapan untuk melihat efektivitas rezim yakni tahap output, outcome, dan impact.
Untuk menilai keefektifan rezim perubahan iklim yang diupayakan CVF dalam UNFCCC dapat dianalisa melalui tahapan pembentukan aturan atau output. Pada tahap output ini rezim dapat dinilai efektif apabila aturan yang dibentuk sesuai dengan target untuk mengatasi masalah lingkungan.
Serangkaian upaya CVF dalam pembentukan rezim perubahan iklim mengenai aturan ambang batas suhu bumi karena urgensinya bagi negara-negara rentan perubahan iklim agar terhindar dari ancaman-ancaman perubahan iklim yang berisiko mengganggu sistem iklim bumi serta aspek-aspek lain kehidupan manusia seperti kerusakan dan kehilangan pada suatu negara, terganggunya kesehatan manusia, dan ketidakstabilan ekonomi negara.
Oleh karena itu tahap output dari upaya CVF telah sesuai mengatasi masalah lingkungan yang disebabkan oleh perubahan iklim karena sebelumnya aturan mengenai ambang batas suhu bumi tidak diatur di UNFCCC.
Peran CVF Sebagai Lead State
CVF sebagai aktor negara yang memiliki kepentingan mengenenai isu ambang batas suhu bumi 1,5 derajat Celcius dalam proses pembentukan rezim perubahan iklim memainkan peran sebagai lead state di mana CVF memiliki komitmen yang kuat terhadap upaya global atas permasalahan perubahan iklim dengan melakukan upaya advokasi pada negara-negara Pihak lain untuk menyepakati sebuah kesepakatan baru serta tindakan-tindakan lain yang mendukung upaya advokasi CVF.
Dari enam upaya yang dilakukan oleh lead state untuk mempengaruhi aktor negara-negara pengambil kebijakan sesuai dengan konsep International Environmental Regime, CVF melakukan tiga upaya untuk mempengaruhi negara Pihak lainnya agar menyepakati aturan ambang batas suhu bumi 1,5 derajat celcius.
Upaya pertama
CVF menunjukkan urgensi masalah dari penetapan ambang batas suhu global melalui penelitian dan laporan iklim berdasarkan ilmu pengetahuan dan bukti-bukti nyata mengenai dampak yang akan ditimbulkan. Laporan dan penelitian yang diterbitkan oleh IPCC dan DARA menunjukkan pentingnya kesepakatan global mengenai ambang batas suhu bumi di tingkat 1,5 derajat Celcius untuk disepakati.
Bekerjasama dengan DARA, CVF menerbitkan laporan penilaian terhadap populasi dunia yakni Climate Vulnerability Monitor (CVM). Laporan ini ditujukan untuk menjadi alat ukur menilai kerentanan negara-negara dari berbagai dampak perubahan iklim sesuai dengan kondisi nasional masing-masing negara.
Laporan dari IPCC mengenai pandangan ilmiah tentang perubahan iklim dan dampak bagi politik dan ekonomi negara-negara dunia juga menjadi landasan CVF dalam menunjukkan urgensi ambang batas suhu global di tingkat 1,5 derajat Celcius. Laporan IPCC mencakup informasi ilmiah, teknis, dan sosio-ekonomi yang relevan untuk memahami dasar ilmiah dari risiko perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia, dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim, dan pilihan tindakan adaptasi dan mitigasi.
Temuan kuat pada AR4 mengenai pemanasan global yang mengganggu sistem iklim bumi sangat jelas, terlihat dari kenaikan suhu rata-rata daratan dan laut global, pencairan es yang meluas, dan kenaikan rata-rata permukaan laut global. Lalu peningkatan emisi GRK tahunan global hingga 70 persen antara tahun 1970 dan 2004.
Perubahan iklim selama tiga dekade terakhir memiliki dampak yang dapat dilihat pada skala global baik secara fisik maupun biologi. Salah satu dampak nyata yang dapat dilihat perubahannya secara fisik adalah kenaikan rata-rata permukaan air laut. Kenaikan permukaan air laut akan terus berlanjut jika emisi GRK tidak dikurangi hingga berada di tingkat yang stabil bagi sistem iklim bumi.
Upaya kedua
Tindakan sepihak yang dilakukan oleh beberapa negara anggota CVF untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim dengan menerapkan kebijakan carbon neutrality pada proses pembangunannya. Upaya tersebut dilakukan agar dapat mengurangi jumlah emisi yang dikeluarkan oleh negaranya. Hal terpenting dari penerapan kebijakan ini adalah tekad dari negara-negara rentan untuk menunjukkan kepemimpinan moral pada negara lain dalam menghadapi masalah perubahan iklim melalui upaya sukarela menerapkan carbon neutrality dalam proses pembangunan berkelanjutan.
Maladewa sebagai negara penggagas CVF mengambil langkah awal dengan sukarela menerapkan green economy melalui program carbon neutrality pada tahun 2020 dalam proses pembangunannya. Rencananya termasuk penggunaan pembangkit energi dan transmisi energi terbarukan dengan turbin angin besar, atap panel surya, dan pabrik biomassa.
Upaya ini diumumkan sebagai respon menghadapi peringatan keras dari para ilmuwan bahwa kenaikan permukaan air laut dapat menenggelamkan Maladewa dan negara-negara dataran rendah lainnya abad ini, sehingga pulau mereka tidak dapat dihuni dengan kenaikan permukaan laut hingga satu meter.
Selain Maladewa, ada pula Costa Rica dan Tuvalu yang akan melakukan pembatasan emisi melalui 100 persen penggunaan energi yang berasal dari sumber energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga air, solar, angin, ataupun panas bumi. Hal ini mereka sampaikan dalam pertemuan CVF ketiga di Bangladesh pada tahun 2011.
Upaya sukarela melakukan pembangunan rendah karbon seperti yang telah dilakukan Maladewa ini tercantum dalam Dhaka Declaration poin 3 yang menyatakan tekad dari negara-negara rentan untuk menunjukkan kepemimpinan moral dengan melakukan pembangunan rendah karbon secara sukarela sesuai dengan keterbatasan kemampuan masing-masing.
Upaya ketiga
Mencari dukungan masyarakat global untuk mendukung posisi mereka dalam pertemuan COP. Melalui kampanye online #1o5C, CVF dan lead organisations lain yakni CARE International dan Climate Action Network (CAN) berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat luas seputar pentingnya ambang batas suhu bumi 1,5 derajat Celcius terhadap perubahan iklim serta mencari dukungan dari masyarakat agar negara Pihak lain dalam UNFCCC menyepakati pilihan penetapan ambang batas suhu di tingkat 1,5 derajat Celcius karena adanya permintaan dari masyarakat luas.
Dukungan melaui kampanye online #1o5C ini berdatangan dari berbagai kalangan masyarakat, baik itu individu atau kelompok. Kampanye pun dilakukan secara offline di ruang publik untuk memberikan edukasi pada masyarakat lain mengenai pentingnya ambang batas suhu bumi di tingkat 1,5 derajat Celcius melalui berbagai kegiatan seperti Rio 2016 Olympic Games.
COP 21 Paris memberikan kesempatan untuk meningkatkan ambisi kolektif para Pihak yang terdiri dari negara-negara rentan untuk mengurangi laju perubahan iklim termasuk dengan memperkuat tujuan ambang batas suhu 1,5 derajat Celcius melalui dukungan dari masyarakat global.
Selain mencari dukungan dari masyarakat global melalui kampanye online #1o5C, CVF juga memperoleh dukungan dari negara-negara Pihak dalam forum UNFCCC. Peran CVF sebagai lead state dalam pembentukan rezim perubahan iklim ini didukung oleh negara-negara yang berperan sebagai supporting state. Kolombia, Paraguay, Chili, dan Peru menyatakan bergabung mendukung target ambang batas suhu bumi di tingkat 1,5 derajat celcius.
Dengan tahapan-tahapan yang telah dilakukan CVF sejak issue definition, fact finding, hingga bargaining dengan menerapkan upaya-upaya pembentukan rezim oleh lead state berdasarkan pada landasan teori Internetional Environmental Regime yang telah dijelaskan sebelumnya, CVF berperan memasukkan aturan ambang batas suhu bumi sebagai kesepakatan global baru untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim dalam UNFCCC dan mendapatkan dukungan dari negara Pihak lain agar terciptanya kesepakatan yang ambisius pada COP 21.
Saleemul Huq perwakilan CVF dari Bangladesh mengatakan bahwa pada awal pertemuan COP 21, 30 November 2015, hanya sekitar 100 negara rentan yang mendukung aturan ambang batas suhu bumi 1,5 derajat Celcius tanpa ada dukungan dari negara maju atau negara sedang berkembang.
Namun, pada akhir COP 21 pada 12 Desember 2015 mayoritas negara Pihak UNFCCC telah diyakinkan oleh CVF untuk mendukung posisi mereka. Hal tersebut dicapai dengan advokasi pada negara Pihak yang terlibat dan dukungan dari masyarakat sipil, serta peran media yang terfokus pada upaya negara-negara rentan baik secara individu maupun kolektif.
Sumber :
DARA and the Climate Vulnerable Forum, 2012, Climate Vulnerability Monitor 2nd Edition:a Guide to the Cold Calculus of a Hot Planet, hal 14-15.
Climate Vulnerable Forum, 2009, Declaration of the Climate Vulnerable Forum diakses dari http://www.thecvf.org/wp-content/uploads/2013/08/Declaration-of-the-CVF-2009.pdf.
UNFCCC, 2008, Poznan Climate Change Conference diakses dari http://unfccc.int/meetings/poznan_dec_2008/meeting/6314.php.
UNFCCC, 2009, Copenhagen Accord diakses dari http://unfccc.int/resource/docs/2009/cop15/eng/11a01.pdf.
IPCC, Climate Change 2007: Working Group II: Adaptation and Vulnerability diakses dari http://www.ipcc.ch/publications_and_data/ar4/wg2/en/spmsspm-a.html.
1o5c Author, Olympics Athletes Support #1o5C Campaign at Rio 2016, 1o5c, 8 November 2016 diakses dari http://1o5c.test.starfi.sh/2016/11/08/olympic-athletes-support-1o5c-campaign-at-rio-2016/.