Secara historis Hong Kong awalnya merupakan wilayah Inggris yang memiliki sistem politik dan pemerintahan yang jauh berbeda dengan pemerintahan China. Hong Kong menggunakan sistem politik demokrasi liberal, sedangkan China menggunakan sistem politik komunisme. Sistem politik demokrasi liberal sangat menganut prinsip kebebasan, baik masyarakat maupun birokrasi pemerintah.
Sebagai contoh, Hong Kong merupakan kawasan yang dikenal sebagai salah satu pusat bisnis dunia, di mana kawasan ini membuka peluang besar untuk kerja sama apapun termasuk ekonomi, selama kawasan Hong Kong mendapat manfaat dari kerja sama tersebut. Hal ini menyebabkan kondisi masyarakat terbiasa dengan kebebasan, penghormatan terhadap HAM, transparansi dan kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).
Hong Kong kaya secara ekonomi, bahkan disebut sangat kapitalis tanpa campur tangan pemerintah. Secara politik, kondisi ekonomi yang berbeda menyebabkan Hong Kong merasa wilayahnya tidak bisa dibandingkan dengan China. Pada tanggal 1 Juli 1997, Inggris setuju untuk memberikan wilayah Hong Kong kepada China dengan syarat Hong Kong akan mengikuti semua peraturan dan kebijakan pemerintah China baik ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.
Secara otomatis hal ini menyebabkan masyarakat Hong Kong memiliki otonomi khusus dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Munculnya kasus pembunuhan dan berujung pada usulan RUU ekstradisi menjadi contoh konkret bagaimana keberadaan ‘negara’ yang selalu berupaya memberikan pengaruhnya kepada negara atau daerah lain.
Sama halnya dengan yang terjadi di China, terdapat keinginan kuat dari pemerintah Beijing untuk membangun pengaruh yang kuat di kawasan Hong Kong. Mengingat kawasan tersebut memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Jika China mampu menguasai dan menguasai Hong Kong, maka China akan mendapatkan keuntungan yang berdampak besar pada ekonomi politik China secara keseluruhan.
Protes yang dilakukan oleh masyarakat Hong Kong terhadap intervensi pemerintah China, terutama dalam kehidupan politik seperti reformasi pemilu, masalah pemilihan kepala eksekutif Hong Kong dipengaruhi oleh pemerintah Beijing, dan masalah pemilihan kepala daerah Hong Kong.
Masyarakat Hong Kong selama 20 tahun telah diberikan otonomi khusus seperti kebebasan media, hak untuk berpartisipasi dalam pemilu dan proses pemerintahan, kebebasan mengkritik pemerintah, lembaga pemerintah yang independen, dan hak untuk protes. Ketika RUU ekstradisi muncul yang menimbulkan kontroversi di seluruh Hong Kong, masyarakat di wilayah tersebut berasumsi bahwa jika RUU itu berhasil disahkan maka secara otomatis akan merusak nilai-nilai murni rakyat Hong Kong.
Kawasan yang sudah mapan secara ekonomi, budaya penghormatan terhadap hak asasi manusia yang tinggi, kebebasan sipil yang dijamin undang-undang, dan iklim investasi yang menjadikan Hong Kong sebagai salah satu pusat bisnis dunia. Intervensi pemerintah China merupakan bukti bahwa pemerintah Beijing selalu mencari cara untuk membangun pengaruh politiknya di negara bekas jajahan Inggris tersebut.
Masyarakat Hong Kong menolak karena mereka tahu secara politik pemerintah China adalah negara yang tidak demokratis dipengaruhi oleh pemimpin politik dari Partai Komunis China dan negara yang sering bertindak sewenang-wenang terhadap narapidana.
Pada kasus Hong Kong ini, kondisi dunia yang penuh dengan konflik merupakan hal yang wajar dan tidak ada negara di berbagai belahan dunia yang mampu mengantisipasi atau bahkan mencegah konflik antara kedua kawasan tersebut. Pemerintah China ingin menguasai Hong Kong sepenuhnya, dengan motif ekonomi dan pengaruh politik yang besar di kawasan Asia Timur.
China merupakan negara agresor dan selalu mencari cara untuk menguasai wilayah di luar negaranya, terlebih lagi wilayah yang menjadi kewenangannya. China dalam hal ini tetap menjadi aktor utama yang mengontrol dan menentukan arah kebijakan suatu bangsa. China adalah negara komunis yang tidak mengenal demokrasi dimana pemerintahannya tidak dipilih oleh rakyat tetapi dipilih oleh pejabat tinggi Partai Komunis China.
Partai politik sangat mempengaruhi masa depan China dalam menjalankan roda pemerintahan termasuk politik luar negeri. Kasus Hong Kong menjadi bukti bahwa pemerintah China ingin memaksakan nilai-nilai yang berbenturan dengan karakteristik Hong Kong, terutama dalam hal demokrasi. Masyarakat Hong Kong sudah terbiasa hidup bebas, toleran, transparan dan terbuka untuk kerja sama apapun asalkan memberikan manfaat bagi negaranya.
Di bawah prinsip satu negara dua sistem ini membuat dunia perpolitikan Hong Kong dan China sangat berelasi. Semakin agresifnya China dalam ekonomi global membuat kebijakan negara semakin kuat, peran negara menjadi sangat dominan sehingga cenderung mendekati pemerintahan yang otoriter.
Seperti gejolak politik di Hong Kong sangat kuat dikarenakan kebijakan China yang dianggap merugikan dari sisi kebebasan politik dan independensi dianggap tidak lagi menjadi faktor yang bisa diraih oleh Hong Kong. Kedudukan Hong Kong sebagai pusat keuangan internasional yang stabil dapat hilang dan rusak jika China terus mengintervensi. Krisis Hong Kong ini membuat kekhawatiran atas masa depan ekonomi politik baik bagi China maupun Hong Kong karena aksi demonstrasi yang berlarut-larut dan semakin tidak terkendali.
Posisi China juga terancam karena kerusuhan Hong Kong ini tampaknya akan mengancam keamanan dan kedaulatan China karena mengikutsertakan aktor eksternal atau asing. Aktor asing tersebut adalah senator Amerika Serikat yang mengancam akan mengamandemen UU kebijakan Hong Kong tahun 1992 dan berhenti memperlakukannya sebagai wilayah pabean yang terpisah dari daratan.
Ikut campurnya AS dalam permasalahan ini membuat pemerintah China mengambil kebijakan yang sangat agresif sebagai peringatan terhadap Amerika Serikat agar jangan ikut campur masalah politik domestik China dengan membawa “nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia” dan menurut China aktor tersebut tidak perlu ikut campur dalam permasalahan ini.
Hal ini dinyatakan oleh Xi Jinping dalam kunjungan kenegaraan ke Nepal pada 13 Oktober 2019, sebagai peringatan keras terhadap pembangkang dan dia mewanti-wanti bahwa upaya untuk memecah belah China akan berakhir dengan “tubuh-tubuh dihantam dan tulang diremukkan menjadi bubuk”. Di sini terlihat jelas bahwa perpolitikan China akibat krisis Hong Kong ini bertambah panas akibat adanya kekuatan asing yang turut ikut serta.
Persyaratan yang disepakati antara pemerintah China untuk transfer termasuk serangkaian jaminan untuk pemeliharaan sistem ekonomi, politik dan hukum Hong Kong yang berbeda setelah transfer, dan pengembangan lebih lanjut dari sistem politik Hong Kong dengan tujuan pemerintahan yang demokratis.
Jaminan ini diatur dalam Deklarasi Bersama China-Inggris dan diabadikan dalam Undang-Undang Dasar semi-konstitusional Hong Kong. Awalnya, banyak warga Hong Kong yang antusias dengan kembalinya Hong Kong ke China dengan menggunakan sistem kebijakan one country two system tersebut tidak menimbulkan permasalahan yang berarti, namun perbedaan yang tajam dalam sistem dan budaya maupun ekonomi antara Hong Kong dan China daratan telah menyebabkan ketegangan yang cukup besar di tahun-tahun sejak serah terima pada tahun 1997.
Secara politis, China daratan terlalu ikut campur dalam sistem politik mereka. Hong Kong yang masih lekat menggunakan sistem demokrasinya bertolak belakang dengan China yang menggunakan paham komunismenya hingga sekarang.
Penulis :
*) Penulis adalah Muhammad Rizky Pratama, Akademisi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
**) Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi reviewnesia.com