Filipina adalah salah satu negara di Asia Tenggara dengan sistem pemerintahan presidensial dan tradisi demokrasi yang panjang. Namun, salah satu karakteristik sistem politiknya yang unik adalah pemilihan presiden dan wakil presiden secara terpisah. Hal ini berbeda dengan banyak negara lain, di mana pasangan presiden dan wakil presiden dipilih bersama. Sistem ini membuka ruang bagi kedua pemimpin berasal dari partai yang berbeda, sehingga menciptakan potensi konflik dan rivalitas.
Teori konflik (Conflict Theory) yang berakar dari pemikiran Karl Marx dapat digunakan untuk menganalisis rivalitas antara presiden dan wakil presiden di Filipina. Rivalitas ini sering kali mencerminkan ketegangan yang lebih luas dalam sistem politik dan sosial negara tersebut, di mana struktur kekuasaan memungkinkan ketimpangan dan konflik kepentingan.
Sebagai contoh, rivalitas antara Presiden Rodrigo Duterte dan Wakil Presiden Leni Robredo dalam periode 2016-2022 menyoroti ketegangan ini. Robredo, yang berasal dari Partai Liberal, kerap mengkritik kebijakan Duterte terkait perang narkoba dan pelanggaran hak asasi manusia (Curato, 2017). Rivalitas semacam ini memiliki dampak luas pada stabilitas politik, kebijakan publik, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Faktor-Faktor Rivalitas Politik
Pertama sistem pemilu di Filipina memungkinkan presiden dan wakil presiden berasal dari partai politik yang berbeda. Hal ini menciptakan dinamika politik yang sering kali kompetitif daripada kolaboratif. Sebagai contoh, dalam pemilu 2016, Duterte dari Partai PDP-Laban terpilih sebagai presiden, sementara Robredo dari Partai Liberal memenangkan kursi wakil presiden (Teehankee, 2020).
Kedua persaingan elektoral sebagai Persiapan Pemilu sering kali memanfaatkan jabatannya untuk membangun basis dukungan politik menjelang pemilu presiden berikutnya. Hal ini dapat menyebabkan wakil presiden menentang kebijakan presiden untuk meningkatkan popularitas pribadi mereka (Quimpo, 2009).
Ketiga budaya patronase dan aliansi pragmatis di Filipina memperburuk rivalitas ini. Politik patronase mendorong para pemimpin untuk memprioritaskan kepentingan kelompok pendukungnya, sering kali dengan mengorbankan koordinasi antar-pemimpin (Abinales & Amoroso, 2017).
Dampak Rivalitas terhadap Pemerintahan
Pertama rivalitas antara presiden dan wakil presiden sering kali menghasilkan fragmentasi dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini memperburuk koordinasi dalam pemerintahan, sebagaimana terlihat dalam hubungan Duterte dan Robredo, di mana Robredo dikeluarkan dari posisi dalam kabinet setelah sering mengkritik kebijakan Duterte (Curato, 2017).
Kedua rivalitas dapat memperburuk ketidakstabilan politik, terutama jika disertai dengan upaya politisasi institusi pemerintah atau penggunaan isu-isu populis untuk meningkatkan dukungan publik.
Ketiga ketidakharmonisan antara presiden dan wakil presiden dapat menghambat implementasi kebijakan. Dalam beberapa kasus, hal ini menyebabkan kebijakan yang bertentangan, membingungkan publik, dan mengurangi efektivitas pemerintahan secara keseluruhan (Teehankee, 2020).
Rivalitas politik antara presiden dan wakil presiden di Filipina mencerminkan tantangan struktural dalam sistem politik negara tersebut. Untuk mengatasi masalah ini, Filipina dapat mempertimbangkan reformasi sistem pemilu sehingga presiden dan wakil presiden dipilih sebagai pasangan. Alternatif lain adalah memperkuat mekanisme mediasi dan koordinasi antara dua pejabat tertinggi negara ini guna mengurangi konflik dan memastikan stabilitas politik.
Daftar pustaka
Abinales, P. N., & Amoroso, D. J. (2017). State and Society in the Philippines. Rowman & Littlefield.
Curato, N. (2016). Politics of anxiety, politics of hope: Penal populism and Duterte's rise to power. Journal of Current Southeast Asian Affairs, 35(3), 91-109.
Quimpo, N. G. (2009). Patronage Democracy in the Philippines: Cluelessness and Misgovernance. Southeast Asian Affairs, 200