Intermestik adalah peran ide dan kepentingan dari para aktor domestik dan internasional dalam suatu proses pembuatan kebijakan. Melalui katanya sendiri, intermestik merupakan singkatan dari internasional dan domestik, karena tujuan intermestik adalah untuk menggambarkan hubungan antara isu-isu internasional dan domestik. Yang kemudian berdampak menjadi fenomena, kebijakan dan gagasan/nilai.
Ketika peneliti mengkaji suatu fenomena domestik, seringkali pendekatan yang digunakan adalah pendekatan domestik (dipengaruhi oleh aktor domestik, kepentingan nasional, birokrat, parlemen dan kelompok kepentingan) dan pendekatan internasional (dipengaruhi oleh agenda internasional dimana peran aktor domestik tidak dominan).
Di era globalisasi sekarang, dimana pergerakan semua aspek terjadi dalam skala besar dan cepat sehingga kemudian sadar atau tidak sadar mempengaruhi satu sama lain, dari hal-hal kecil sampai besar termasuk kebijakan suatu negara.
Oleh karena itu perlu adanya pendekatan yang menjembatani antara isu-isu internasional dan isu domestik. Hal inilah yang kemudian menghadirkan pendekatan intermestik dalam kajian hubungan internasional.
Maka dari itu dalam melihat suatu kebijakan perlu melihat proses yang terjadi. Yang melibatkan networking dan learning lintas negara, dilakukan oleh para aktor pembuat kebijakan dengan aktor-aktor lain secara lintas batas negara sehingga konsep-konsep seperti epistemic community, dan lain-lain juga dipakai.
Salah satu contoh pendekatan intermestik dapat kita lihat melalui fenomena Car Free Day di Indonesia. Bagaimana suatu peristiwa dapat terjadi berurutan dan terhubung sehingga kemudian menyebabkan suatu fenomena. Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai Car Free Day bertujuan mensosialisasikan kepada masyarakat untuk menurunkan ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan bermotor.
Kegiatan ini awalnya didorong oleh aktivis yang bergerak dalam bidang lingkungan dan transportasi. Tujuannya adalah meninggalkan kendaraan bermotor di rumah dan berjalan kaki walaupun hanya sebentar. Car Free Day awalnya dilakukan di Belanda pada 25 November 1956 yang dilaksanakan setiap hari Minggu. Kemudian di Perancis lalu kemudian perlahan diikuti oleh banyak negara lain.
Kendaraan bermotor merupakan salah satu penyumbang gas rumah kaca (GRK) terbesar. Hal ini kemudian tertuang dalam permasalahan SDGs Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 13 tentang perubahan iklim yaitu bertujuan untuk segera mengambil aksi memerangi perubahan iklim. SDGs di bawah PBB berusaha mendorong negara-negara anggotanya memberlakukan kebijakan rendah emisi dan tidak mencemari lingkungan.
Ada juga Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) adalah perjanjian lingkungan internasional yang dirundingkan pada KTT Bumi di Rio de Janeiro tanggal 3 sampai 14 Juni 1992 dan diberlakukan tanggal 21 Maret 1994. Tujuan UNFCCC adalah untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sampai tingkat yang mampu mencegah campur tangan manusia dengan sistem iklim.
Kerangka kerja ini menentukan bagaimana perjanjian internasional/protokol dapat mengatur batas gas rumah kaca yang benar-benar mengikat. Dari perjanjian inilah kemudian “Protokol Kyoto” diciptakan yaitu sebuah persetujuan internasional tentang pemanasan global.
Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen mengurangi emisi atau pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya serta bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Indonesia adalah salah satu negara yang ikut meratifikasi Protokol Kyoto.
Selain peran rezim internasional, terdapat pula peran organisasi regional seperti ASEAN. menteri kesehatan negara ASEAN pada 2017 memprakarsai ASEAN Car Free Day. Prakarsa ini juga merupakan bagian dari pelaksanaan ASEAN Declaration on Culture of Prevention for a Peaceful, Inclusive, Resilient, Healthy and Harmonious Society, yang telah diadopsi oleh para pemimpin negara ASEAN.
ASEAN CFD diharapkan dapat menjadi sarana untuk menyatukan masyarakat serta berbagai sektor dan pemangku kepentingan, untuk bekerja sama dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat dan yang terkait, termasuk pengendalian polusi, melalui promosi olahraga, keterlibatan pemuda dan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan yang berwawasan kesehatan sangat diperlukan untuk menyehatkan masyarakat.
Indonesia sebagai bagian dari PBB dan ASEAN menyadari bahwa Ia ikut menyumbang polusi yang cukup banyak dikarenakan masih banyak masyarakat yang memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum oleh karena itu salah satu bentuk upaya pemerintah dalam mengurangi polusi dan emisi gas adalah dengan mengadakan Car Free Day.
Kegiatan Car Free Day pertama kali di Indonesia diadakan pada tahun 2001 tepatnya di jalan Imam Bonjol dengan melakukan penutupan jalur Sudirman – Thamrin pada saat hari bumi. Kegiatan ini didukung oleh pihak kepolisian yang diputuskan oleh Irjen Pol Djoko Susilo.
Kemudian kegiatan ini dilanjutkan pada tanggal 22 September 2002, dimana pada saat ini Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) serta para aktivis lingkungan hidup bersama masyarakat berkampanye untuk penghapusan penggunaan bensin bertimbal, maka diciptakanlah kegiatan Car Free Day di Indonesia yang pada awalnya berupa kegiatan kampanye untuk menghimbau masyarakat yang memiliki kendaraan bermotor untuk lebih bijak lagi.
Setahun berikutnya, pada tanggal 21 September 2003, Pelaksanaan Car Free Day mulai menyebar ke seluruh penjuru Indonesia. Untuk mendukung kebijakan mengenai program Car Free Day maka kegiatan ini diperkuat dengan Perda di masing–masing daerah melalui Kepmen LH No. 15/1996 sesuai dengan program Langit Biru serta instruksi himbauan dari bupati nomor 1 tahun 2011 tentang hari bebas kendaraan bermotor.
Sumber :
Kurniawati, Dyah Estu (2012). “Pendekatan Intermestik Dalam Proses Perubahan Kebijakan: Sebuah Review Metodologis”. Jurnal Studi Hubungan Internasional (JSHI) Vol 2 No 2 (2012).
Kusumaningrum, Demeiati Nur & Dyah Estu Kurniawati (2016), “Intermesti Sebagai Pendekatan Dalam Studi Hubungan Internasional” Leutika, Yogyakarta.
Policy Studies . (Vol. 30, No. 3 June 2009). 237-241.
Evans, M. (t.thn.). International Policy Transfer: Between Global and Sovereign and Between Global and Local.
Evans, M. (2013). New Direction in the Study of Policy Transfer. london: Routledge.2013.
nicolaus K, I. M. (2011). Efisiensi Program Car Free Day Terhadap Penurunan Emisi Karbon. Surabaya.
Penulis :
*) Penulis adalah Radina Safira, Akademisi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
**) Penulis dapat dijumpai melalui e-mail: radinaasafiraa@gmail.com
***) Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi reviewnesia.com