Dalam beberapa tahun terakhir, perekonomian global telah menyaksikan pergeseran paradigma yang signifikan, dengan hadirnya China sebagai salah satu pemain kunci dalam arena ekonomi internasional. Dalam upaya untuk menyesuaikan diri dengan tantangan ekonomi global yang berubah-ubah dan memperkuat posisinya sebagai kekuatan ekonomi dunia, China telah mengadopsi kerangka ekonomi baru yang mulai diperhitungkan oleh banyak negara berkembang dan negara maju di dunia.
Pernyataan Presiden Taiwan untuk mempertahankan cara hidup yang bebas dan demokratis di negaranya berbanding terbalik dengan keinginan ataupun hasrat dari presiden China dalam menyatukan kedua negara.
Gerakan besar yang dipelopori oleh para pemuda terjadi di Tiongkok pada masa kepemimpinan Deng Xiaoping tahun 1989.
Taiwan memiliki nama resmi Republic of China secara de facto telah menjadi sebuah negara terpisah dari Republik Rakyat China (China Daratan) di tahun 1949. Namun secara de jure, status Taiwan masih ditangguhkan karena hanya sedikit negara yang mengakui dan menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan, mengingat masih adanya sengketa yang dihadapi Taiwan dengan RRC.
Covid-19 mewabah di Kota Wuhan dan menyebar ke seluruh dunia merupakan ancaman non-tradisional yang sangat berdampak bagi negara di dunia termasuk terhadap regionalisme negara-negara yang ada di Asia Tenggara.
Seiring peran dan pengaruh China terhadap banyak negara di dunia semakin berkembang, dipandang perlu untuk memahami bagaimana perspektif China terhadap hubungan luar negerinya dengan negara lain dalam konstelasi politik global.
Dewasa ini dunia lebih condong dalam konsep ekonomi internasional kontemporer dimana lebih berfokus terhadap liberalisasi ekonomi yang diusung oleh Amerika Serikat. Liberalisasi ekonomi sendiri melahirkan tatanan dunia baru dengan melihat bahwa ekonomi bisa menggantikan geopolitik sebagai pendorong kekuatan dalam politik internasional. Hal tersebut dimanifestasikan dalam perdagangan internasional.
Menguatnya intervensi Republik Rakyat China (RRC) dalam perpolitikan di Hong Kong telah berhasil memicu adanya protes dan aksi turun jalan dengan tujuan menuntut demokrasi penuh yang dilakukan oleh masyarakat Hong Kong khususnya dari kalangan generasi millennial (muda) pada tahun 2014 atau biasa disebut dengan Umbrella Movement (Gerakan Payung). Umbrella Movement merupakan sebuah penanda kebangkitan dan meningkatnya kesadaran politik generasi muda Hong Kong setelah sekian lama tidak ada gerakan besar yang mengguncang Pemerintahan China sejak peristiwa Tiananmen 1989 (Béja, 2009).
Bangkitnya kekuatan Cina ini menjadi daya saing yang cukup ketat bagi negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat.