Dinamika keamanan di wilayah Asia Timur sedang mengalami pergolakan akibat beberapa transformasi kekuatan yang mengalami pergeseran. Hal tersebut salah satunya diakibatkan oleh bangkitnya militer Cina sebagai kekuatan baru di kawasan Asia Timur. Bahkan, kekuatan militer Cina tersebut dapat membangkitkan respons kebijakan hingga Amerika Serikat. Di sisi lain, transformasi keamanan di Asia Timur juga disebabkan oleh adanya nuklir Korea Utara yang membuat keamanan kawasan semakin memprihatinkan.
Tidak ada mekanisme baru yang dapat ditemukan untuk melucuti ancaman nuklir Pyongyang yang dapat meningkatkan ketegangan di kawasan Asia Timur. Berbagai tantangan tersebut ada di wilayah yang strategis di kawasan Asia Timur, yaitu wilayah yang mengalami perselisihan teritorial dan warisan peninggalan dari kependudukan kolonial, sejarah, dan konflik.
Faktor-faktor perselisihan teritorial, sejarah, dan juga konflik tersebut menimbulkan terjadinya permusuhan dan juga kebencian di dalam kawasan. Sementara itu, adanya perkembangan politik regional di kawasan juga mampu mendorong konflik pada masa lalu muncul kembali di masa sekarang.
Situasi yang menegangkan dikarenakan kekhawatiran mengenai keamanan kawasan meningkat menjadikan para aktor di kawasan Asia Timur pesimis akan kemajuan di masa mendatang. Namun, yang tidak kalah mengejutkan lagi yaitu adanya keterlibatan Amerika Serikat yang semakin kuat di dalam dinamika keamanan di wilayah Asia Timur.
Kekuatan ekonomi dan militer Cina yang semakin meningkat ternyata memberikan respons cepat dari pihak Amerika. Namun, kegelisahan Amerika akan kekuatan Cina tersebut membuat Amerika Serikat tidak boleh bertindak realis, Amerika Serikat justru harus tetap menjaga hubungannya dengan Cina meskipun nilai-nilai ideologi antara Amerika dan Cina sangat berbeda.
Dalam jurnal tersebut penulis juga menjelaskan cara Cina bangkit secara ekonomi dan militer digambarkan melalui pembentukan AIIB (Bank Investasi Infrastruktur Asia) dan juga ide One Belt One Road. Dalam sumber pendukung pertama yang berkaitan dengan review artikel ini yang berjudul “Cina Versus Amerika Serikat : Interpretasi Rivalitas Keamanan Negara Adidaya Di Kawasan Asia Pasifik” yang ditulis oleh M.Najeri Al Syahrin juga telah dijelaskan bahwa kebangkitan Cina secara ekonomi dan militer akan menyebabkan upaya rebalancing Amerika semakin sulit.
Kesulitan yang juga dialami di kawasan Asia Timur tersebut digambarkan dengan terjadinya permasalahan yang semakin meluas seperti Cina dengan Taiwan, nuklir Korea Utara, konflik teritorial di Laut Cina Selatan dimana gambaran situasi kawasan tersebut akhirnya mengundang Amerika untuk turut intervensi dalam permasalahan di Asia Pasifik.
Dari sini saya melihat dilema yang terjadi pada Amerika, pasalnya ia dihadapkan pada dua pilihan yaitu antara kepentingan domestiknya dan juga keunggulan militer di kawasan. Hal tersebut tentu tidak mudah bagi Amerika dalam menyusun taktik yang tepat.
Kepentingan Cina pada dasarnya memang sangat konfrontatif dengan kepentingan Amerika karena kepentingan nasional Cina yang paling utama adalah klaimnya terhadap teritorial di kawasan Laut Cina Selatan dan Timur yang bertentangan dengan batas-batas maritim negara aliansi Amerika.
Para pemimpin Tiongkok memang mengatakan bahwa mereka tidak memiliki kepentingan untuk menggantikan Amerika atau mendorong Amerika keluar dari wilayah Asia Pasifik. Hal tersebut membuat Amerika semakin fokus pada bagaimana supaya Cina tidak membuat kebijakan-kebijakan lagi aturan-aturan ekonomi dan politik regional yang merusak status quo dan merugikan negara-negara di kawasan termasuk negara-negara mitra Amerika.
Tindakan Amerika yang tidak merasa resah dengan kebangkitan Cina juga digambarkan dengan penolakan Amerika untuk menjadi bagian dari keanggotaan di AIIB. Itulah mengapa akhirnya dibentuklah Trans-Pacific Partnership (TPP) adalah upaya Amerika untuk mencegah Cina dalam membuat aturan perdagangan di kawasan Asia Pasifik. Memang, semenjak adanya konflik-konflik seperti ini hubungan Amerika dengan Cina semakin menegangkan.
Di sisi lain, bukan saja soal ekonomi tetapi dari segi kekuatan militer Cina yang semakin menguat telah dijelaskan dalam tulisan U.S. Policy and East Asian Security: Challenge and Response dalam artikel yang di review oleh penulis ini telah dijelaskan dominasi militer Cina yang semakin meningkat tersebut untuk memajukan kepentingan-kepentingan regionalnya dengan menggunakan angkatan bersenjata.
Hal tersebut menunjukkan Cina bahwa ingin terlibat dalam perang modern. Dilihat dari sisi Perspektif Realis, unit-unit utama Cina adalah negara yang independen dimana ia ingin menjadi negara yang dominan dari berbagai sisi dengan kekuatannya yang terus dikembangkan, terutama melalui aspek ekonomi dan juga militer.
Hirauan utamanya adalah tentang keamanan nasionalnya sehingga ia terus mengembangkan militernya sebagai upaya pertahanan negara. Pandangannya tentang prospek global memang pesimistis sehingga ia memiliki kekhawatiran terhadap keamanan negaranya di tengah bangkitnya kekuatan negara-negara lain di dunia, seperti Amerika Serikat. Motif aktor yaitu pemerintah Cina yaitu bagaimana kepentingan nasionalnya harus tercapai dengan mempertimbangkan zero-sum game atau untung rugi sehingga segala kebijakan dan keputusan yang diambil berdasarkan Rational Choice. Hal-hal tersebut di atas salah satunya terlihat dari sikap Cina yang sangat agresif dalam konflik Laut Cina Selatan.
Namun sebenarnya, hubungan Amerika dengan Cina yang digambarkan dengan ketegangan tersebut tidak sepenuhnya penuh dengan ketegangan. Dikatakan juga di dalam sumber pendukung kedua yang saya temukan yang berjudul China’s Global Identity: Considering The Responsibilities of Great Power” yang ditulis oleh Hoo Tiang Boon, para aktor Cina dan Amerika menolak bahwa mereka berkonflik, mereka justru ingin menjalin kerja sama seperti salah satunya digambarkan melalui KTT antara Obama dengan Xi Jinping pada tahun 2015 melalui beberapa perjanjian, seperti perjanjian tentang penghentian pencurian data-data di internet, perjanjian etika dalam menggunakan internet, kerja sama perubahan iklim, dan komunikasi tentang militer yang akan ditingkatkan.
Namun sebenarnya yang lebih berbahaya untuk Amerika dan juga negara-negara di Kawasan Asia Timur bukan saja Cina, tetapi kebangkitan Korea Utara tentang kebijakannya mengenai nuklir. Bahkan Amerika pun telah melalukan beberapa upaya diplomasi hingga memberikan berbagai sanksi kepada Korea Utara mengenai kebijakan nuklir tersebut, namun nyatanya hal tersebut tidak mengurungkan niat Korea Utara dalam pembatalan kebijakan nuklirnya.
Bahkan ketegangan kawasan pernah terjadi karena Korea Utara secara tiba-tiba pada 6 Januari Tahun 2016 melakukan uji coba nuklir yang keempat kalinya. Kebijakan denuklirisasi Korea Utara menurut saya adalah sesuatu yang dijadikan simbol bagi pemerintah Korea Utara untuk mendapatkan perhatian dan juga rasa hormat dari organisasi internasional.
Jadi, Korea Utara adalah negara yang juga perlu dipertimbangkan oleh Amerika. Apalagi saat ini Korea Utara beraliansi dengan Cina, tentu hal tersebut menjadi kecemasan tersendiri bagi Amerika.
Dalam sumber pendukung ketiga yang saya temukan yang berjudul “Logika Dilema Keamanan Asia Timur dan Rasionalitas Pengembangan Senjata Nuklir Korea Utara” yang ditulis oleh M.Najeri Al Syahrin, menjelaskan bahwa, usaha yang dilakukan oleh Korea Utara adalah upayanya untuk menjamin keamanan dari adanya kemungkinan serangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan negara aliansinya di Asia Timur, yaitu Jepang dan Korea Selatan.
Pihak Amerika juga memberikan penjelasannya terkait upaya-upaya diplomasi yang telah dilakukannya terhadap Korea Utara bahwa Amerika tidak memiliki kepentingan untuk melakukan perubahan kepemimpinan Kim tetapi hanya ingin agar Amerika Serikat dan negara aliansinya di Asia Timur tidak merasa terancam oleh kekuatan senjata nuklir Korea Utara.
Dan dengan senjata nuklir dan rudal Korea Utara di ambang perubahan dinamika keamanan di kawasan itu, Cina memiliki insentif untuk mempertimbangkan kembali dukungan tradisionalnya bagi Korea Utara. Dalam artikel pertama yang saya review ini juga dijelaskan bahwa diskusi antara Amerika, Cina, dan Korea Utara membicarakan permasalahan yang berhubungan dengan reunifikasi Korea termasuk status pasukan Amerika di Korea, kemampuan militer Korea yang bersatu, pengelolaan pengungsi, dan disposisi senjata nuklir Korea Utara dan senjata pemusnah massal lainnya. Diskusi tersebut merupakan jaminan bagi Cina tentang masa depan Semenanjung Korea.
Kekurangan dari jurnal pertama yang berjudul “U.S. Policy and East Asian Security: Challenge and Response” yang ditulis Evans J.R Revere adalah penulis kurang menjelaskan nama kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Amerika, Cina, dan juga Korea Utara sehingga hanya digambarkan secara implisit dan mengurangi tingkat kejelasan pembaca dalam menganalisa jurnal ini. Sedangkan kelebihan dari jurnal ini menjelaskan secara kompleks dan runtut konflik keamanan yang ada di Asia Timur dan hubungannya dengan Amerika bahkan menjelaskan juga dari latar belakang sejarah.
Hal tersebut memudahkan pembaca dalam memahami konteks tulisan dalam jurnal ini. Selain itu, pembahasan yang diangkat sangat menarik sehingga pembaca dapat menganalisanya melalui perspektif dalam hubungan internasional, yaitu realisme seperti yang telah saya paparkan di atas.